Singkawang,-
Kesetiaan Syarifuddin 'bermain' terasi membawa berkah dalam
kehidupannya. Dia pun berniat mengembangkan 'warisan' itu sebagai
sebuah industri berskala menengah. Namun minimnya peralatan yang
dimilikinya membuat warga Sedau ini menunda keinginannya.
Laporan Budi Miank, Singkawang
Industri terasi skala menengah sangat potensial dikembangkan di Sedau
melalui pola kemitraan bahan baku dengan nelayan produsen terasi. Bahan
baku terasi dibeli dari nelayan kemudian diolah menggunakan mesin
poedering dan sortasi untuk memperhalus tekstur dan mengurangi fraksi
kulit udangnya.
Produk yang dicetak seberat 1 ons per pak siap dipasarkan untuk
konsumen yang menyukai terasi. "Kadang-kadang ada konsumen dari luar
Kalbar yang membelinya. Mereka tau terasi saya dari kawan-kawannya yang
telah membeli duluan," kata Syarifuddin sambil menunjukkan terasi yang
siap dipasarkan.
"Kebanyakan sih orang Singkawang yang membelinya," cerita ayah sebelas
anak ini. Syarifuddin juga mengatakan tak berani mengikat perjanjian
dengan pelanggannya.
"Soalnya, ndak bisa dipastikan ada bahan bakunya. Kan tergantung ada
ndak nelayan yang menjualnya," katanya. Bukan itu saja, lanjutnya,
kalau musim hujan sulit untuk membuat terasi. "Cahaya matahari sangat
perlu untuk membuat belacan (terasi, red)," katanya.
Kata Syarifuddin, "kalau musim penghujan tiba, kadang-kadang tangkapan
nelayan cukup banyak. Tapi cahaya matahari kurang, sehingga belacannya
banyak yang rusak. Yah, paling-paling kita bikinkan cencalo saja,"
katanya. Akan tetapi, kata dia lagi, dua bulan terakhir ini bisa
memproduksi.
Berkah usaha 'warisan' Syarifuddin ini membawanya ke Surabaya untuk melakukan studi banding.
"Tahun 1991, saya diajak pemerintah provinsi studi banding ke Sidoarjo
melihat proses pengolahan belacan di sana. Tapi setelah pulang lagi ke
Singkawang, saya terkendala oleh tidak adanya mesin pengolah seperti di
Sidoarjo," ungkapnya.
Padahal, jika memiliki prosesing seperti terasi Sidoarjo, dia yakin
kalau produksinya akan bertambah besar. Disamping itu, juga pemodalan
yang masih minim.
Idealnya, tambah dia, terasi olahannya bisa diterima dimana-mana. Soal
rasa, dia berani jamin, bahwa rasanya lebih sedap dibandingkan yang
lain. Cuma, karena permodalan minim, sedangkan mesin pengolah belum
dimiliki, maka pasarnya pun terbatas.
''Kalau banyak, mungkin pasarnya tak terbatas di pasar Singkawang saja.
Akan tetapi bisa meng-Kalbar, bahkan mungkin bisa masuk ke luar Kalbar.
Padahal, prospek trasi Singkawang ini cukup bagus,'' katanya.
Ada yang berniat setor modal? (*)< Kesetiaan Syarifuddin 'bermain'
terasi membawa berkah dalam kehidupannya. Dia pun berniat mengembangkan
'warisan' itu sebagai sebuah industri berskala menengah. Namun minimnya
peralatan yang dimilikinya membuat warga Sedau ini menunda
keinginannya.
Laporan Budi Miank, Singkawang
Industri terasi skala menengah sangat potensial dikembangkan di Sedau
melalui pola kemitraan bahan baku dengan nelayan produsen terasi. Bahan
baku terasi dibeli dari nelayan kemudian diolah menggunakan mesin
poedering dan sortasi untuk memperhalus tekstur dan mengurangi fraksi
kulit udangnya.
Produk yang dicetak seberat 1 ons per pak siap dipasarkan untuk
konsumen yang menyukai terasi. "Kadang-kadang ada konsumen dari luar
Kalbar yang membelinya. Mereka tau terasi saya dari kawan-kawannya yang
telah membeli duluan," kata Syarifuddin sambil menunjukkan terasi yang
siap dipasarkan.
"Kebanyakan sih orang Singkawang yang membelinya," cerita ayah sebelas
anak ini. Syarifuddin juga mengatakan tak berani mengikat perjanjian
dengan pelanggannya.
"Soalnya, ndak bisa dipastikan ada bahan bakunya. Kan tergantung ada
ndak nelayan yang menjualnya," katanya. Bukan itu saja, lanjutnya,
kalau musim hujan sulit untuk membuat terasi. "Cahaya matahari sangat
perlu untuk membuat belacan (terasi, red)," katanya.
Kata Syarifuddin, "kalau musim penghujan tiba, kadang-kadang tangkapan
nelayan cukup banyak. Tapi cahaya matahari kurang, sehingga belacannya
banyak yang rusak. Yah, paling-paling kita bikinkan cencalo saja,"
katanya. Akan tetapi, kata dia lagi, dua bulan terakhir ini bisa
memproduksi.
Berkah usaha 'warisan' Syarifuddin ini membawanya ke Surabaya untuk melakukan studi banding.
"Tahun 1991, saya diajak pemerintah provinsi studi banding ke Sidoarjo
melihat proses pengolahan belacan di sana. Tapi setelah pulang lagi ke
Singkawang, saya terkendala oleh tidak adanya mesin pengolah seperti di
Sidoarjo," ungkapnya.
Padahal, jika memiliki prosesing seperti terasi Sidoarjo, dia yakin
kalau produksinya akan bertambah besar. Disamping itu, juga pemodalan
yang masih minim.
Idealnya, tambah dia, terasi olahannya bisa diterima dimana-mana. Soal
rasa, dia berani jamin, bahwa rasanya lebih sedap dibandingkan yang
lain. Cuma, karena permodalan minim, sedangkan mesin pengolah belum
dimiliki, maka pasarnya pun terbatas.
''Kalau banyak, mungkin pasarnya tak terbatas di pasar Singkawang saja.
Akan tetapi bisa meng-Kalbar, bahkan mungkin bisa masuk ke luar Kalbar.
Padahal, prospek trasi Singkawang ini cukup bagus,'' katanya.
Ada yang berniat setor modal? (*)
Dikutip dari : arsip.pontianakpost.com