header

Syarifuddin Achmad; 30 Tahun Mengolah Terasi Secara Tradisional

Singkawang,-  Kesetiaan Syarifuddin 'bermain' terasi membawa berkah dalam kehidupannya. Dia pun berniat mengembangkan 'warisan' itu sebagai sebuah industri berskala menengah. Namun minimnya peralatan yang dimilikinya membuat warga Sedau ini menunda keinginannya.

Laporan Budi Miank, Singkawang

Industri terasi skala menengah sangat potensial dikembangkan di Sedau melalui pola kemitraan bahan baku dengan nelayan produsen terasi. Bahan baku terasi dibeli dari nelayan kemudian diolah menggunakan mesin poedering dan sortasi untuk memperhalus tekstur dan mengurangi fraksi kulit udangnya.

Produk yang dicetak seberat 1 ons per pak siap dipasarkan untuk konsumen yang menyukai terasi. "Kadang-kadang ada konsumen dari luar Kalbar yang membelinya. Mereka tau terasi saya dari kawan-kawannya yang telah membeli duluan," kata Syarifuddin sambil menunjukkan terasi yang siap dipasarkan.

"Kebanyakan sih orang Singkawang yang membelinya," cerita ayah sebelas anak ini. Syarifuddin juga mengatakan tak berani mengikat perjanjian dengan pelanggannya.

"Soalnya, ndak bisa dipastikan ada bahan bakunya. Kan tergantung ada ndak nelayan yang menjualnya," katanya. Bukan itu saja, lanjutnya, kalau musim hujan sulit untuk membuat terasi. "Cahaya matahari sangat perlu untuk membuat belacan (terasi, red)," katanya.

Kata Syarifuddin, "kalau musim penghujan tiba, kadang-kadang tangkapan nelayan cukup banyak. Tapi cahaya matahari kurang, sehingga belacannya banyak yang rusak. Yah, paling-paling kita bikinkan cencalo saja," katanya. Akan tetapi, kata dia lagi, dua bulan terakhir ini bisa memproduksi.

Berkah usaha 'warisan' Syarifuddin ini membawanya ke Surabaya untuk melakukan studi banding.

"Tahun 1991, saya diajak pemerintah provinsi studi banding ke Sidoarjo melihat proses pengolahan belacan di sana. Tapi setelah pulang lagi ke Singkawang, saya terkendala oleh tidak adanya mesin pengolah seperti di Sidoarjo," ungkapnya.

Padahal, jika memiliki prosesing seperti terasi Sidoarjo, dia yakin kalau produksinya akan bertambah besar. Disamping itu, juga pemodalan yang masih minim.

Idealnya, tambah dia, terasi olahannya bisa diterima dimana-mana. Soal rasa, dia berani jamin, bahwa rasanya lebih sedap dibandingkan yang lain. Cuma, karena permodalan minim, sedangkan mesin pengolah belum dimiliki, maka pasarnya pun terbatas.

''Kalau banyak, mungkin pasarnya tak terbatas di pasar Singkawang saja. Akan tetapi bisa meng-Kalbar, bahkan mungkin bisa masuk ke luar Kalbar. Padahal, prospek trasi Singkawang ini cukup bagus,'' katanya.

Ada yang berniat setor modal? (*)< Kesetiaan Syarifuddin 'bermain' terasi membawa berkah dalam kehidupannya. Dia pun berniat mengembangkan 'warisan' itu sebagai sebuah industri berskala menengah. Namun minimnya peralatan yang dimilikinya membuat warga Sedau ini menunda keinginannya.

Laporan Budi Miank, Singkawang

Industri terasi skala menengah sangat potensial dikembangkan di Sedau melalui pola kemitraan bahan baku dengan nelayan produsen terasi. Bahan baku terasi dibeli dari nelayan kemudian diolah menggunakan mesin poedering dan sortasi untuk memperhalus tekstur dan mengurangi fraksi kulit udangnya.

Produk yang dicetak seberat 1 ons per pak siap dipasarkan untuk konsumen yang menyukai terasi. "Kadang-kadang ada konsumen dari luar Kalbar yang membelinya. Mereka tau terasi saya dari kawan-kawannya yang telah membeli duluan," kata Syarifuddin sambil menunjukkan terasi yang siap dipasarkan.

"Kebanyakan sih orang Singkawang yang membelinya," cerita ayah sebelas anak ini. Syarifuddin juga mengatakan tak berani mengikat perjanjian dengan pelanggannya.

"Soalnya, ndak bisa dipastikan ada bahan bakunya. Kan tergantung ada ndak nelayan yang menjualnya," katanya. Bukan itu saja, lanjutnya, kalau musim hujan sulit untuk membuat terasi. "Cahaya matahari sangat perlu untuk membuat belacan (terasi, red)," katanya.

Kata Syarifuddin, "kalau musim penghujan tiba, kadang-kadang tangkapan nelayan cukup banyak. Tapi cahaya matahari kurang, sehingga belacannya banyak yang rusak. Yah, paling-paling kita bikinkan cencalo saja," katanya. Akan tetapi, kata dia lagi, dua bulan terakhir ini bisa memproduksi.

Berkah usaha 'warisan' Syarifuddin ini membawanya ke Surabaya untuk melakukan studi banding.

"Tahun 1991, saya diajak pemerintah provinsi studi banding ke Sidoarjo melihat proses pengolahan belacan di sana. Tapi setelah pulang lagi ke Singkawang, saya terkendala oleh tidak adanya mesin pengolah seperti di Sidoarjo," ungkapnya.

Padahal, jika memiliki prosesing seperti terasi Sidoarjo, dia yakin kalau produksinya akan bertambah besar. Disamping itu, juga pemodalan yang masih minim.

Idealnya, tambah dia, terasi olahannya bisa diterima dimana-mana. Soal rasa, dia berani jamin, bahwa rasanya lebih sedap dibandingkan yang lain. Cuma, karena permodalan minim, sedangkan mesin pengolah belum dimiliki, maka pasarnya pun terbatas.

''Kalau banyak, mungkin pasarnya tak terbatas di pasar Singkawang saja. Akan tetapi bisa meng-Kalbar, bahkan mungkin bisa masuk ke luar Kalbar. Padahal, prospek trasi Singkawang ini cukup bagus,'' katanya.

Ada yang berniat setor modal? (*)

 

Dikutip dari : arsip.pontianakpost.com

Go Back

Comment