Diceritakan dahulu kala Pangeran Walangsungsang / Cakrabumi, istrinya Indangayu dan adiknya Dewi Rarasantang pergi ke kebon pesisir Lemahwungkuk dan menemukan sebuah rumah Kaki Tua yang bernama Ki Gedeng Alang Alang. Walangsungsang / Cakrabumi / Somadullah beserta istri dan adiknya beristirahat disana. Dan setelah datang waktunya, pada pagi hari Ahad walangsungsang / Cakrabumi / Somadullah memasuki hutan rwa belukar menebangi pepohonan besar dan kecil tiap hari. Hutan yang sudah lapang ia tanami palawija membanun perkebunan. Kaki Tua yang melihat hutan sudah menjadi perkebunan dengan tanaman palawija sangat senang sekali. Cakrabuana lalu disuruh menangkap ikan dan rebon, ia idberi jala, alat penangkap ikan dan perahu kecil. Tiap malam ia pergi menangkap ikan dan rebon (ebi).
Rajagaluh mengadakan pertemuan dengan pejabat-pejabat
pemerintahan, seluruh para Bupati, Sentana mantra dan Gegedeng sudah
berkumpul. Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan, Gedeng
Kiban namanya. Sang Prabu berkata, “Hai Di Palimanan sekarang bawahan
engkau, tanah pantai yang jadi pemukiman, banyak orang yang berkebun
dan ada nelayan yang menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih kepada
tumbukan ikan rebon, agar periksa sampai jelas dan ditetapkan pajak
bagi nelayan rebon itu dalam setahun sepikul bubukan rebon yang sudah
halus gelondongan.”
Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan
perintah), segera meninggalkan ruang sidang, memanggil tujuh orang
mantri (ponggawa pepitu) dan mereka sudah menghadap kepadanya. Ki
Dipati berkata, “Hai ponggawa pepitu, sekarang periksalah dukuh baru di
pinggir pantai, ada berapa orangnya dan nelayan penangkap ikan rebon
seyogyanya diberi ketetapan pajak tiap tahun sepikul bubukan rebon yang
sudah halus gelondongan. Harap diperikasa dengan jelas, karena Sang
Prabu terasih sekali kepada bubukan rebon yang sudah gelondongan.”
Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera menghindar dari hadapannya, mereka terus berjalan menuju ke pantai.
Diceritakan Cakrabumi bersama sang istri dan sang adki sedang menumbuk
rebon di lumping batu dengan hulu batu. Orang yang mengkulak rebon
berebut saling mendahului, berdesak-desak sambil berceloteh “Oga age,
geura age, geura bebek (cepat-cepatlah ditumbuk)!” jadi mashur
pedukuhan baru itu disebut nama Grage. Tidak lama kemudian datanglah
utusan Palimanan Mantri pepitu memeriksa pemukiman itu, sudah ada 346
orang, Ki Cakrabumi sudah bertemu dihadapan mereka. Berkata jubir
Mantri pepitu, “Hai tukang penangkap rebon, oleh perintah Sang Prabu
engkau diharuskan mengirim pajak tiap-tiap tahun satu pikul bubukan
rebon gelondongan, karena Sang Prabu terasih sekali dan minta kejelasan
bagaimana membikin terasi itu.”
Cakrabumi mengucap sandika. Adapun
menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu
diuyahi (digaremi) lalu diperas, dijemur, setelah kering lalu ditumbuk
digelondongi. Adapun air perassannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu.
Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang.” Ki
Mantri berkata, “Coba ingin tahu rasanya cai (air) rebon itu.”
Cakrabumi segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah
masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan
bersama dengan lauk pauk petis blendrang sambil saling berkata, bahwa
cai (air) rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya). Karena Ki
Mantri pepitu mengumumkan kepada rakyat pemukiman/dedukuh baru itu,
memberi nama Dukuh Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.
Kata terasi
diambil dari kata terasih, karena kala waktu itu Prabu Rajagaluh sangat
terasih (menyukai) bubukan rebon yang sudah halus gelondongan.Makannya
sejak saat itu bubukan rebon itu dinamakan terasi...
Label: Asal Mula Terasi Cirebon